Petisi Menggema dari Masjid Raya: Sofifi Ingin Mandiri!
0 menit baca
![]() |
Sofifi, KanalMalut.com - Setelah lebih dari dua dekade ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara, Sofifi kini kembali menggeliat. Ratusan warga dari berbagai wilayah Oba dan Sofifi memadati pelataran Masjid Raya Shaful Khairat, Jumat (18/7) siang, dalam sebuah aksi damai untuk menandatangani petisi rakyat. Gerakan ini bukan sekadar simbolik, melainkan bentuk protes konstitusional atas ketidakadilan pembangunan yang selama ini dirasakan. Mereka menuntut status Daerah Otonomi Baru (DOB) Kota Sofifi segera diwujudkan, sebagaimana amanat undang-undang yang telah lama diabaikan.
Petisi yang digalang masyarakat ini menjadi representasi nyata suara publik yang menginginkan Sofifi berdiri sebagai kota otonom. Aksi ini lahir dari keresahan mendalam akibat ketimpangan pembangunan, minimnya pelayanan publik, dan status administratif Sofifi yang masih berada di bawah kendali Pemerintah Kota Tidore Kepulauan.
Ketua Majelis Rakyat Kota Sofifi (MARKAS), Muhammad Imam, menyatakan bahwa inisiatif penggalangan petisi tersebut murni berasal dari masyarakat, tanpa dorongan elit atau agenda politik tertentu.
“Gerakan tanda tangan petisi ini merupakan panggilan nurani masyarakat Maluku Utara dalam menagih janji negara menjadikan Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara sebagaimana amanat UU Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara,” ujarnya.
Imam merujuk pada Pasal 9 Ayat 1 UU No. 46 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa Sofifi adalah ibu kota Provinsi Maluku Utara. Lebih lanjut, Pasal 20 Ayat 2 mengatur bahwa dalam waktu lima tahun sejak UU itu berlaku, status ibu kota harus telah difungsikan secara definitif.
“Namun sangat disayangkan, amanat UU tersebut sengaja tidak dilaksanakan oleh pemerintah,” tandasnya.
Hingga kini, atau hampir 26 tahun sejak penetapan tersebut, Sofifi belum sepenuhnya menikmati infrastruktur dasar dan pelayanan publik yang memadai. Ketiadaan status kota menyebabkan pengelolaan anggaran, perizinan, dan pembangunan masih bergantung pada Pemerintah Kota Tidore Kepulauan—yang ironisnya justru berlokasi jauh dari Sofifi itu sendiri.
Ketimpangan ini semakin terasa bagi masyarakat yang menetap dan menjalankan aktivitas sehari-hari di Sofifi.
“Bayangkan, kami tinggal di ibu kota provinsi tapi seperti warga pinggiran. Rumah sakit rujukan tidak ada, pelayanan publik terbatas, anggaran pembangunan minim. Apakah ini adil?,” tanya Imam.
Sebagai putra daerah Sofifi, Imam menegaskan bahwa gerakan ini tidak muncul dari amarah, melainkan dari kesadaran hukum yang selama ini terabaikan.
“Bilamana ada pihak lain yang berupaya melakukan pengarahan ASN untuk menghalang-halangi tuntutan ini merupakan tindakan pembangkangan terhadap konstitusi, dan itu kejahatan luar biasa,” tegasnya.
Petisi ini, menurut Imam, menandai bahwa perjuangan menuju DOB Kota Sofifi telah memasuki tahap yang lebih dewasa dan terorganisir.
“Petisi ini merupakan penanda bahwa perjuangan DOB Kota Sofifi telah memasuki fase yang lebih matang. Untuk itu, kami ingin negara mendengar. Ini bukan teriakan kosong. Ini suara masyarakat yang haus keadilan,” ungkapnya.
Ratusan warga telah membubuhkan tanda tangan dalam petisi ini, dan penggalangan terus diperluas ke setiap desa dan kelurahan. Imam menekankan bahwa perjuangan ini bukan semata-mata soal wilayah administratif, melainkan bagian dari identitas dan sejarah Maluku Utara.
“Sofifi bukan milik satu suku, satu kampung, atau satu kepentingan. Sofifi adalah milik semua masyarakat Maluku Utara,” tegas Imam.
Ia menutup pernyataannya dengan seruan kuat kepada negara agar segera merespons desakan rakyat ini.
“Dengan semakin menguatnya dukungan masyarakat, semakin jelas bahwa DOB Kota Sofifi bukan sekadar wacana. Ia telah menjadi desakan rakyat yang wajib dijawab oleh negara. Jika ini tidak segera dijawab maka rakyat Maluku Utaralah yang akan menentukan jawabannya sendiri,” pungkasnya.(*)